28 November 2007

BAGAIMANA PERBANKAN TAHUN 2008 ?


Bandung (Admin).  Tahun 2007 bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan perbankan setelah terpuruk pada tahun 2006. Sejumlah indikator utama, seperti penyaluran kredit, perolehan laba, dan penanganan kredit bermasalah, membaik. Dengan fondasi yang kokoh tahun ini, seharusnya kinerja perbankan bisa lebih baik pada tahun 2008. Namun, lonjakan harga minyak dunia, yang hampir menyentuh 100 dollar AS per barrel, dan ketidakpastian pasar keuangan global memudarkan harapan itu.

Perbankan dihadapkan pada trauma kejatuhan seperti 2006. Minimnya penyaluran kredit dan meningkatnya kredit bermasalah bisa menjadi momok tahun 2008.  Akankah tahun 2008 menjadi tahun manis atau pahit bagi perbankan? Tergantung mampu tidaknya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) meminimalkan dampak risiko global terhadap perekonomian di dalam negeri.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad saat Seminar Infobank Outlook 2008 memaparkan, hingga September 2007, perkembangan kinerja perbankan signifikan. Beberapa indikator tumbuh di atas perkiraan. Posisi kredit hingga akhir September 2007 mencapai Rp 956,7 triliun, tumbuh 21,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada periode yang sama, dana pihak ketiga tumbuh 16,4 persen. Ini membuat rasio pinjaman terhadap DPK melonjak menjadi 68,3 persen. Sementara, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gross (sebelum dikurangi pencadangan) turun dari 6,31 persen menjadi 5,75 persen.

Dengan pencapaian yang baik selama 2007, BI memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan tahun 2008 mencapai 22-24 persen. Rasio NPL gross akan membaik, yaitu 5-5,5 persen. Namun Muliaman mengakui bahwa prediksi tersebut mengasumsikan gejolak harga minyak tidak berdampak banyak terhadap perekonomian di dalam negeri.

Jika gejolak harga minyak berkepanjangan, tentu berdampak. Hingga kini belum ada tanda-tanda gejolak harga minyak mereda. Kondisi akan semakin buruk jika faktor risiko lain, seperti gejolak pasar keuangan global, perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, dan kenaikan inflasi di China ternyata berdampak lebih besar dari yang diperkirakan.

Faktor internal pun tak bisa diabaikan. Meningkatnya tekanan inflasi, terutama oleh imported inflation, dan sentimen negatif terhadap kesinambungan fiskal terkait kenaikan harga minyak bisa membawa mimpi buruk. Kekhawatiran akan suramnya tahun 2008 sudah terlihat saat PT Pertamina menaikkan harga bahan bakar minyak untuk industri. Harga BBM industri, yang berlaku mulai 15 November 2007, rata-rata naik 10 persen dibandingkan dengan harga yang ditetapkan 1 November 2007.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia Haryanto menyatakan, kenaikan harga BBM rata-rata lima persen menaikkan ongkos produksi 30 sen dollar AS per pasang sepatu. Naiknya ongkos produksi mendorong perusahaan mengerem ekspansi atau mengurangi produksi. Ini akan menurunkan permintaan kredit. Konsekuensi lain, keuntungan perusahaan berkurang. Ini akan menurunkan kemampuan membayar cicilan kredit pada bank, NPL pun berpotensi naik.

Solusi

Menurut pengamat pasar modal dan keuangan Kahlil Rowter, jika gejolak harga minyak berlangsung lebih dari tiga bulan, produsen yang menggunakan bahan baku impor tidak akan kuat menahan beban. Mereka membebankan kenaikan harga pada konsumen. Ini akan memicu inflasi. Semua dampak yang dikhawatirkan itu masih merupakan potensi, bisa saja tidak terjadi asal ada langkah untuk meredamnya.

Pengamat moneter Iman Sugema mengusulkan agar BI segera menurunkan BI Rate untuk mendorong penurunan suku bunga kredit yang lebih cepat. Ini akan meringankan biaya produksi.

(FDT, sumber: http://kompas.com/ver1/Ekonomi/0711/20/090020.htm)


Untuk informasi lebih lanjut hubungi:

 

PT Bank BTPN Tbk
Andrie Darusman – Communications & Daya Head
Email: [email protected] atau [email protected]

 

Sekilas tentang Bank BTPN

PT Bank BTPN Tbk (Bank BTPN) merupakan bank devisa hasil penggabungan usaha PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) pada Februari 2019. Bank BTPN melayani berbagai segmen yang ada di industri perbankan, mulai dari ritel hingga korporasi, termasuk para pensiunan, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), komunitas prasejahtera produktif; segmen consuming class; serta segmen korporasi. Layanan kami tersedia di unit-unit bisnis Bank BTPN, yaitu BTPN Sinaya—unit bisnis pendanaan, BTPN Purna Bakti—unit bisnis yang melayani nasabah pensiunan, BTPN Bisnis Mikro—unit bisnis yang melayani pelaku usaha mikro, BTPN Business Banking—unit bisnis yang melayani pelaku usaha kecil dan menengah, Jenius—platform perbankan digital untuk segmen consuming class, dan unit bisnis korporasi yang melayani perusahaan besar nasional, multinasional, dan Jepang. Selain itu, Bank BTPN memiliki anak usaha yaitu PT Bank BTPN Syariah Tbk yang melayani nasabah dari komunitas prasejahtera produktif. Melalui Program Daya, yaitu program pemberdayaan yang berkelanjutan dan terukur, Bank BTPN secara reguler memberikan pelatihan dan informasi untuk meningkatkan kapasitas nasabah sehingga memiliki kesempatan tumbuh dan mendapatkan peluang untuk hidup yang lebih baik.